Wednesday, March 23, 2011

Jangan Memandang Rendah "WISATAWAN SANDAL"

JANGAN MEMANDANG RENDAH "WISATAWAN SANDAL"

Oleh: Maria Hartiningsih dan Elok Dyah Messwati


KIRA-kira sebulan lalu, Yanu Ronggo (42) dan Boy Lawalata (46) dikejutkan oleh kedatangan sebuah sedan Volvo di depan Wisma Delima, salah satu hostel di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Penumpangnya seorang laki-laki setengah baya, warga Afrika, berpakaian jas lengkap, dikawal dua laki-laki Indonesia, berpakaian lengkap juga. Kami sempat kaget. Saya kira mau ada inspeksi mendadak," ujar Boy, salah satu putra Nathanel Lawalata, pelopor bisnis penginapanuntuk backpackers (pelancong rangsel) di kawasan Jalan Jaksa itu.

Ternyata orang asing itu adalah salah satu tamu yang pernah menginap di Wisma Delima 25 tahun lalu. "Orang itu ingin tahu apakah tempat ini masih seperti dulu. Ia juga ingin melihat lagi di mana kamar tempat ia menginap waktu itu. Di kamar itu, ia berdiam sejenak, melihat sekeliling," lanjut Yanu.Dua orang Indonesia yang mengantar itu ternyata pejabat dari Departemen Luar Negeri. "Bapak-bapak itu bilang, tamu itu adalah seorang menteri dari satu negara di Afrika. Saya lupa nama negara itu, sambung Yanu, "Setelah berbincang-bincang sejenak, tamu itu pamit karena ia akan diterima Ibu Mega di Istana Wakil Presiden".

Bagi Yanu dan Boy, pengalaman itu merupakan sesuatu yang paling mengesankan sejak ayah Boy, Nathanael Lawalata memutuskan untuk menjadikan rumah keluarga sebagai penginapan murah yang pertama di kawasan Jalan Jaksa untuk para pelancong, pada tahun 1967.

"Pengalaman serupa memang sering terjadi, meski pun tidak semengesankan pengalaman terakhir," ujar Yanu. Menurut dia, ada tamu yang datang lagi sesudah menjadi pengusaha. "Cuma mampir," sambungnya. "Biasanya mereka membawa keluarga atau teman, sekadar menengok dan menunjukkan bahwa mereka pernah tinggal di tempat itu."

Toh tidak sedikit yang kembali menginap setelah beberapa tahun. Meski pun kayaknya mereka bukan tidak punya uang untuk tinggal dihotel berbintang. Mereka bilang, di sini lebih seperti rumah, dan mereka dengan mudah dapat berkenalan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat di tingkat bawah," Boy menambahkan.

Baik Yanu mau pun Roy yakin, pengelola penginapan-penginapan murah bertarif mulai Rp 20.000 semalam di sekitar Jalan Jaksa, mau pun di tempat-tempat serupa di kota lain seperti Sosrowijayan dan Dagen di Yogyakarta, banyak mengalami peristiwa yang sama.

***

MUNGKIN tidak banyak yang tahu, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, pernah menjadi pelancong jenis itu. "Saya pernah selama tiga bulan melakukan perjalanan mengelilingi Amerika dengan greyhound (bis lintas kota dan negara bagian di AS yang ongkosnya terjangkau anggota masyarakat kebanyakan-Red) pada pertengahan tahun 1960-an," papar Dorodjatun di depan Masyarakat Pariwisata Indonesia (MPI) beberapa pekan lalu.

Dalam perjalanannya itu, Dorodjatun menginap di penginapan murah di dekat stasiun bus. "Yang penting bersih dan dekat dengan berbagai fasilitas yang dibutuhkan," katanya. Dorodjatun juga pernah melakukan perjalanan ke negara-negara di Amerika Latin. "Di kota-kotanya, saya melihat bagaimana angka dari statistik 'memanusia' ke dalam realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari," ujar doktor di bidang ekonomi lulusan Universitas California di Berkeley (UC Berkeley) di Amerika Serikat, yang punya hobi berat memotret manusia dan lingkungan sosialnya itu.

Itu sebabnya, Dorodjatun yang menekuni masalah ekonomi pariwisata sejak belasan tahun lalu, pernah mengusulkan kepada Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi pada tahun 1990-an, Joop Ave, agar tidak membatasi wisatawan asing hanya untuk mereka yang mempunyai cukup uang untuk menginap di hotel-hotel berbintang.
"Saya bilang sama Pak Joop, mereka yang sekarang datang hanyadengan membawa rangsel bisa jadi adalah mereka yang lima tahun atau beberapa tahun kemudian adalah MBA (Master of Business Administration) yang kembali berkunjung ke sini dengan keluarganya," lanjut Dorodjatun yang kemudian menjelaskan bagaimana pariwisata dapat menjadi tulang punggung perekonomian di suatu negara.

Dia pula satu dari sedikit ahli ekonomi yang meyakini bahwa kegiatan pariwisata bisa menjadi tumpuan pada situasi apa pun. Yang terpenting dari kebutuhan para pelancong ini adalah tempat menginap yang bersih dan fasilitas yang dibutuhkan, mulai dari informasi yang sangat terinci mengenai transportasi di dalam dan antar kota, tempat makan, pasar, pelayanan kesehatan, sampai hal-hal yang paling sederhana, seperti misalnya, bagaimana menyeberang jalan. Karena itu, lingkungan di sekitar tempat menginap harus memiliki kelengkapan yang dibutuhkan itu, keamanan dan kebersihannya terjaga. "Jadi tidak usah dari belasan daerah tujuan wisata itu semuanya dikembangkan dengan kelengkapan yang sama. Cukup di tempat-tempat di mana terdapat konsentrasi wisatawan," lanjut Dorodjatun.

***

SENADA dengan Dorodjatun, pengamat pariwisata, H Kodhyat SH, mengecam sikap angkuh pihak industri yang mengatakan pelancong rangsel ini adalah "wisatawan sandal". "Saya sering mengobrol dengan mereka, yang ternyata banyak sekali berasal dari kelompok berpendidikan, bahkan ada yang doktor, profesor dan lain-lain," ujar Kodhyat yang seperti ingin menegaskan bahwa penampilan tidak selalu identik dengan kemampuan intelektual, bahkan kemampuan finansial seseorang.

Asumsi Kodhyat tidak meleset. Banyak mahasiswa program doktoral universitas-universitas di AS dan Eropa yang kemudian melakukan penelitian di Indonesia setelah mereka mengunjungi negeri ini sebagai backpacker. Bahkan seorang doktor yang pernah melakukan penelitian untuk
disertasinya di Sulawesi, Bandung dan Bekasi, seperti Dr Rachel Silvey-kini Assistant Professor pada jurusan Geografi Universitas Colorado di Boulder-memilih menginap di sekitar Jalan Jaksa untuk kunjungan-kunjungan rutin yang dilakukannya ke Indonesia, hampir setahun sekali. "Saya merasa lebih mengenal lingkungan ini. Hubungan antar manusianya berjalan sangat wajar, tidak superfisial. Jadi saya selalu memilih tinggal di sini selama saya di Jakarta," ujarnya,
ketika bertemu beberapa saat lalu.

Konon, cucu raja minyak Rockefeller dan raja mobil, Ford, suka melakukan perjalanan dengan cara seperti itu untuk menikmati hidupnya sebagai manusia biasa. Hampir bisa dipastikan, hubungan antar manusia merupakan kunci dari kegiatan ini. Dorodjatun melukiskan kegiatan pariwisata sebagai human relations-intensive industry atau industri padat hubungan antar
manusia.

Para pejalan (traveller) yang memilih perjalanan dengan anggaran ketat lebih mudah berhubungan dan mengenal masyarakat dengan cara yang paling sederhana, jujur, tidak ditopengi dengan sikap yang dibuat-buat atau kesantunan mekanis seperti didapatkan di hotel-hotel besar yang dipenuhi berbagai standar dan persyaratan internasional.

Jumlah pelancong dunia seperti ini tidak diketahui jumlahnya secara pasti. Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) hanya menyebutkan jumlah FIT (free individual traveller) mencapai 70 persen dari sekitar 600 juta wisatawan dunia; namun tidak ada keterangan berapa dari persentase itu merupakan wisatawan dengan uang saku pas-pasan (budget tourist). Hanya dikatakan, kecenderungan melakukan perjalanan dengan cara ini meningkat jumlahnya di kalangan pejalan dunia.

Banyak pengamat pariwisata mengatakan, informasi dari mereka mengenai tempat yang pernah dikunjungi, jauh lebih akurat dibandingkan dari wisatawan yang mengikuti paket-paket wisata dari biro-biro perjalanan. Dari mereka pula sebenarnya promosi pariwisata dilakukan secara gratis melalui cara yang paling sederhana, yakni dari mulut ke mulut; termasuk menangkal atau setidaknya menetralisasi travel warning yang dilayangkan beberapa negara besar kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia karena situasi keamanan yang tidak
memungkinkan. "Dalam situasi seperti ini, mereka bisa bercerita bahwa keadaan di Indonesia tidak segawat seperti yang digambarkan. Memang ada wilayah-wilayah yang kurang aman, tetapi Indonesia kan luas sekali. Di Jakarta saja yang ramai aksi mahasiswa juga hanya di wilayah tertentu saja," ujar Dorodjatun.

***

APA yang dikatakan Stephen O'Hare (25) seperti membenarkan asumsi Dorodjatun. "Indonesia adalah sebuah negara yang sangat luas. Yang terjadi konflik bersenjata itu hanya di tempat-tempat tertentu, seperti Maluku, dan Aceh. Jadi masih banyak tempat lain yang aman, yang bisa dikunjungi," ujar traveller asal sebuah Pulau di Inggris, Isle of Man itu.

Stephen yang mengagumi Indonesia sebagai negara kepulauan malah enggan melancong ke Pulau Seribu atau di tempat-tempat yang selama ini dinyatakan sebagai daerah tujuan wisata. "Kalau pemandangan alam kan di mana-mana ada. Saya memilih untuk mengenal masyarakatnya, karena masyarakat itu unik, dan saya ingin mengenalnya," ujar Stephen yang akan melanjutkan perjalan ke Pangandaran. "Kami malah ingin melihat aksi mahasiswa itu dari dekat, tetapi dilarang," ujar Dr Nek Maqsud (50-an) dari Departemen Geosciences, Institute of Geography, University of Mainz, Jerman, yang menginap di Wisma Garminah, Taman Kebon Sirih, Jakarta. Menurut Maqsud, situasi di Jakarta tidak semengerikan yang dibayangkan orang-orang di negerinya. "Kalau bicara masalah sosial dan kriminalitas, di Jerman kami juga mengalami hal serupa. Malahan gerakan-gerakan fasisme baru atas dasar superioritas ras, muncul lagi di sana," ujar Dr Nek yang dalam kunjungannya ke Indonesia ditemani oleh istrinya, Hilli Franziska Maqsud.

Dua pelancong asal Veenendaal, Belanda, Martyn Van Ieperen (27) dan Mariska Jakobsen (27) yang ditemui tengah bersantai di sebuah kafe di Jalan Jaksa mengatakan hal senada. "Saya tahu situasi Indonesia kacau sejak tahun 1998," ujar Martyn dan Mariska yang mengenal Indonesia dari cerita orangtua mereka. Mariska yang bekerja sebagai peramu minuman di pub "De Baet" di Veenendaal, dan Martyn, di bidang konstruksi, memulai perjalanan dari Amsterdam menuju Bangkok. Kemudian ke Indonesia melalui jalan darat dan laut. "Kami cuti tiga bulan tanpa dibayar," ujar Martyn.

Sementara Park Jang Kwan (51), pelancong asal Seoul, Korea Selatan yang selama dua minggu melakukan perjalanan ke Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali juga tidak mengalami persoalan dengan masalah keamanan. Meski begitu, kalau naik kendaraan umum, ia selalu waspada. "Tidak hanya di Indonesia, di mana-mana pun di dunia ini juga selalu bagian kota yang tidak terlalu aman."

Tampaknya para pelancong ini tidak terlalu mengandalkan informasi daerah yang akan dikunjungi dari pusat-pusat informasi wisatawan di Indonesia. Mereka lebih mengandalkan buku panduan berwisata yang diterbitkan di luar negeri. Mariska dan Martyn, misalnya, membawa buku panduan terbitan Lonely Planet, salah satu penerbitan buku panduan wisata yang dikatakan H Kodhyat, sebagai yang paling lengkap dan paling banyak dipakai.

Buku berjudul Lonely Planet: Southeast Asia on A Shoestring itu sangat dikenal di kalangan pelancong dunia. Buku itu memuat panduan lengkap dan detil mengenai sembilan negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bahkan dalam terbitan terbaru (cetakan keenam, tahun 2000)
khusus mengenai Indonesia, sudah termuat mengenai pergantian rezim pemerintahan dan reformasi tahun 1998.

"Waktu mau terbit cetakan pertamanya, salah satu penulisnya, Tony Wheeler pada awal tahun 1980-an menginap Wisma Delima ini. Cukup lama juga dia di sini," ujar Boy Lawalata. Tidak mengherankan kalau kawasan sekitar Jalan Jaksa ditulis sangat lengkap dalam buku panduan
itu, termasuk bagaimana mencapai kawasan tersebut dari berbagai wilayah kota; juga kawasan-kawasan serupa di kota-kota lain di Indonesia, dan terus dilakukan up-dating, sebagian berdasarkan laporan dari pelancong sendiri.

Meski demikian, bukan berarti semua pelancong menggunakan buku panduan. Stephen yang kini menjadi warganegara Australia itu biasa menggunakan peta, dan ketika sudah berada di Indonesia, ia mencari informasi dari sesama pelancong atau penduduk setempat. Dalam perjalanan keduanya ke Indonesia ini ia terbang dari Perth ke Singapura, kemudian feri ke Malaka, Malaysia, masuk ke Indonesia melalui Dumai, Riau. Seperti Mariska dan Martyn, Stephen menumpang kapal dari Padang ke Jakarta.

"Begitu mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, saya didatangi sejumlah sopir taksi yang menawarkan tumpangan ke Jalan Jaksa dengan ongkos Rp 100.000! Saya langsung menolak, dan memilih naik bus kota yang hanya membayar Rp 800," keluh Stephen yang menyesalkan mengapa tidak ada informasi di pelabuhan mengenai bagaimana mencapai Jl Jaksa dengan menggunakan kendaraan umum.

Meski banyak persoalan yang dialami sesama pelancong, Park Jang Kwan tetap melihat orang-orang yang ia temui selalu bersikap mau membantu. Karena itu, kata Kwan, "Tahun depan saya akan membawa keluarga saya berlibur ke sini."

Dimuat di Kompas 4 Februari 2001

back to bluesaphier

Kampung Girl by Uncle JC :p

Sumpah, kocak banget...! I can't stop laughing, so funny & creative parody music... Hwakakakak... Uncle JC is bule gilllaaaa.....